Showing posts with label Conservation. Show all posts
Showing posts with label Conservation. Show all posts

Monday, May 4, 2009

WB, ADB financing model under fire

Best Article



Riyadi Suparno ,  The Jakarta Post ,  Nusa Dua, Bali   |  Mon, 05/04/2009 2:07 PM  |  Headlines

Why do the World Bank (WB) and the Asian Development Bank (ADB) finance coal-fired energy instead of geothermal and solar energy, and why do they finance the development of roads and not railway lines?

Emil Salim, a former minister for the environment during Soeharto's time, has the answer.

"The key is you pick up projects that are helpful in reducing *poverty and unemployment*, and you go away from investments that are climate resilient," Emil told officials from the ADB and the WB at a seminar on climate change on Sunday.

Emil suggested the ADB and the WB follow the path of Norway in selecting investment projects. Norway, Emil said, did not make investments in tobacco, sugar, salt and other industries that are unhealthy and even reduce the quality of life. "Can't the World Bank and ADB devise similar things: No investment in climate endangering activities? That's missing in the World Bank and ADB."

Salvano Briceno, director of the United Nations' International Strategy for Disaster Reduction, concurred, saying that no banks and even no governments have given priority to reducing risks and vulnerability to climate and disaster in their project financing.

The majority of money, he said, goes to projects with no risk reduction, which makes them prone to disasters. Worse, much of the money goes to responses after disasters happen, i.e. to projects to rebuild houses, bridges, roads and other destroyed infrastructure.

"The reason money goes to the response is because it gives great visibility to political leaders. It's what we call the CNN syndrome. No better time to advertise your works than when a disaster happens. And you have assured spots on TV. But you don't have it when you build schools, when you built hospitals."

He suggested that the World Bank and ADB start advising governments to incorporate environment, risk and vulnerability to disaster measures into their projects.

In response, ADB vice president for knowledge management and sustainable development Ursula Schaefer-Preuss said that the bank had addressed environment and climate change in its long-term strategic framework of development. The ADB, she added, had even established a special fund generated from its own income to finance CO2-reducing projects.

But she acknowledged the amount was very small.

J. Warren Evans, director of Environment Department at the World Bank, noted that if the bank incorporated the environment factor into all of its projects it would increase the cost of projects, and it's unclear who should pay the difference.

Most likely project owners and the governments of developing countries, would not be willing to absorb the added environmental costs, he said.

He suggested the issue be discussed and negotiated at an international level to help resolve the problems; at the upcoming climate change negotiation in Copenhagen, later this year, for instance.

The problem is, financing climate change adaptation is not yet on the table for Copenhagen. Financing for climate change mitigation, which is already incorporated in the Kyoto Protocol, is however.

Evans predicted it would be an uphill battle to simply include financing adaptation into the climate change conference agenda in Copenhagen. But, it's worth a try.

Friday, April 24, 2009

2100 Bumi Akan Panas Sekali

[ Kompas.Com ]

COLORADO, KOMPAS.com — Ancaman pemanasan global masih dapat dihilangkan dalam jumlah sangat besar jika semua negara memangkas buangan gas rumah kaca, yang memerangkap panas, sampai 70 persen pada abad ini, demikian hasil satu analisis baru. 

Meskipun temperatur global akan naik, sebagian aspek perubahan iklim yang paling berpotensi menimbulkan bahaya terhadap, termasuk kehilangan besar es laut Kutub Utara dan tanah beku serta kenaikan mencolok permukaan air laut, dapat dihindari. 

Studi tersebut, yang dipimpin oleh beberapa ilmuwan dari National Center for Atmospheric Research (NCAR), direncanakan disiarkan pekan depan di dalam Geophysical Research Letters. Penelitian itu didanai oleh Department of Energy dan National Science Foundation, penaja NCAR. 

"Penelitian ini menunjukkan kita tidak lagi dapat menghindari pemanasan mencolok selama abad ini," kata ilmuwan NCAR Warren Washington, pemimpin peneliti tersebut.

Temperatur rata-rata global telah bertambah hangat mendekati 1 derajat celsius (hampir 1,8 derajat fahrenheit) sejak era pra-industri. Kebanyakan pemanasan disebabkan oleh buangan gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, terutama karbon dioksida. 

Gas yang memerangkap panas itu telah naik dari tingkat era pra-industri sekitar 284 bagian per juta (ppm) di atmosfer jadi lebih dari 380 ppm hari ini. 

Sementara penelitian tersebut memperlihatkan bahwa pemanasan tambahan sebesar 1 derajat celsius (1,8 derajat fahrenheit) mungkin menjadi permulaan bagi perubahan iklim yang berbahaya, Uni Eropa telah menyerukan pengurangan dramatis buangan gas karbon dioksida dan gas rumah kaca. Kongres AS juga sedang membahas masalah itu. 

Guna mengkaji dampak pengurangan semacam itu terhadap iklim di dunia, Washington dan rekannya melakukan kajian superkomputer global dengan menggunakan Community Climate System Model, yang berpusat di NCAR. 

Mereka berasumsi, tingkat karbon dioksida dapat dipertahankan pada angka 450 ppm pada penghujung abad ini. Jumlah tersebut berasal dari US Climate Change Science Program, yang telah menetapkan 450 ppm sebagai sasaran yang bisa dicapai jika dunia secara cepat menyesuaikan tindakan pelestarian dan teknologi hijau baru guna mengurangi buangan gas secara dramatis. 

Sebaliknya, buangan gas sekarang berada di jalur menuju tingkat 750 ppm paling lambat pada 2100 jika tak dikendalikan.

Hasil tim tersebut memperlihatkan kalau karbon dioksida ditahan pada tingkat 450 ppm, temperatur global akan naik sebesar 0,6 derajat celsius (sekitar 1 derajat fahrenheit) di atas catatan saat ini sampai akhir abad ini. 

Sebaliknya, studi itu memperlihatkan, temperatur akan naik hampir sebesar empat kali jumlah tersebut, jadi 2,2 derajat celsius (4 derajat fahrenheit) di atas catatan saat ini, kalau buangan gas dibiarkan terus berlanjut di jalurnya saat ini. 

Menahan tingkat karbon dioksida pada angka 450 ppm akan memiliki dampak lain, demikian perkiraan studi contoh iklim itu.

Kenaikan permukaan air laut akibat peningkatan panas karena temperatur air menghangat akan menjadi 14 sentimeter (sekitar 5,5 inci) dan bukan 22 sentimeter (8,7 inci). Kenaikan mencolok permukaan air laut diperkirakan akan terjadi karena pencairan lapisan es dan gletser.

Volume es Kutub Utara pada musim panas menyusut sebanyak seperempat dan diperkirakan akan stabil paling lambat pada 2100. Suatu penelitian telah menyatakan, es musim panas akan hilang sama sekali pada abad ini jika buangan gas tetap pada tingkat saat ini.

Pemanasan Kutub Utara akan berkurang separuhnya sehingga membantu melestarikan populasi ikan dan burung laut serta hewan mamalia laut di wilayah seperti di bagian utara Laut Bering.

Perubahan salju regional secara mencolok, termasuk penurunan salju di US Southwest dan peningkatan di US Norhteast serta Kanada, akan berkurang sampai separuh kalau buangan gas dapat dipertahankan pada tingkat 450 ppm. 

Sistem cuaca itu akan stabil sampai sekitar 2100, dan bukan terus menghangat. Tim penelitian tersebut menggunakan simulasi superkomputer guna membandingkan skenario peristiwa biasa melalui pengurangan dramatis buangan karbon dioksida yang dimulai dalam waktu sekitar satu dasawarsa.

Penulis kajian tersebut menegaskan, mereka tidak mengkaji bagaimana pengurangan seperti itu dapat dicapai atau menyarankan kebijakan tertentu.

"Tujuan kami ialah menyediakan bagi pembuat kebijakan penelitian yang sesuai sehingga mereka dapat membuat keputusan setelah mendapat keterangan," kata Washington.

"Studi ini menyediakan suatu harapan bahwa kita dapat menghindari dampak terburuk perubahan iklim, jika masyarakat dapat mengurangi buangan dalam jumlah besar selama beberapa dasawarsa mendatang dan melanjutkan pengurangan utama sepanjang abad ini."


BNJ 
Sumber : Antara

Thursday, August 7, 2008

Greenpeace mendesak AMEM memulai Revolusi Energi dengan target 40% pada tahun 2020

[ Greenpeace ]


Bangkok, Thailand — Greenpeace mendesak menteri energi di Negara-Negara ASEAN menunjukkan kepemimpinan mereka dan tekad kuat untuk menciptakan masa depan dengan berlandaskan sumber-sumber energi terbarukan yang bersih. Bukan membuat jebakan untuk negaranya pada energi nuklir dan energi fosil yang kotor, berbahaya dan mahal. Desakan ini Greenpeace sampaikan pada pertemuan dengan media yang di adakan tepat saat pertemuan Menteri Energi Negara-negara Asean di Bangkok, Thailand.
Naiknya harga minyak dan batu bara menjadi agenda utama pada pertemuan tersebut dalam mensiasati ketahanan energi di ASEAN. Tetapi pada pertemuan tersebut para menteri energi ini bukan membahas solusi dengan menerapkan energi terbarukan tetapi merencanakan peningkatan energi batu bara dan energi nuklir.

Negara-negara ASEAN yang sedang berkembang harus belajar dari sejarah dan berusaha menurunkan emisi karbondioksida dengan memilih sumber-sumber energi yang terbarukan dan mendorong efisiensi energi pada saat negara-negara tersebut mengkonsumsi energi secara terus menerus dan bertambah seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Penurunan emisi gas rumah kaca akan semakin meningkat jika memilih teknologi energi yang salah. 

Negara-negara Asia Tenggara secara kolektif menduduki peringkat ketiga didunia sebagai penyumbang emisi CO2 di antara negara berkembang lainnya setelah Cina dan India. Masa depan perkembangan energi terbarukan di Asia Tenggara di tentukan pilihan-pilihan politik yang diambil oleh pemerintah masih-masih serta ASEAN. Sebagai tuan rumah negara-negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, ASEAN harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk iklim dan energi yang tepat, Keputusan yang diambil dalam beberapa tahun ke depan akan memiliki dampak yang berkepanjangan.
 
Tahun lalu ASEAN membuat keputusan bahwa permasalahan perubahaan iklim dan energi sebagai salah satu masalah utama dan keputusan ASEAN untuk meningkatkan energi bersih untuk kebutuhan energi listrik di kawasan ASEAN hingga 10% pada tahun 2010 adalah keputusan yang Greenpeace sambut baik. Tetapi keputusan tahun lalu hanya sekedar keputusan di atas kertas. ASEAN Gagal  mencapai target-target tersebut secara nyata.

Negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Thailand dan Vietnam telah termakan bujuk rayu industri nuklir dan telah membuat boom waktu untuk seluruh penduduknya. Hal ini bukan cara yang tepat untuk mecapai ketahanan energi dan mengatasi permasalahaan perubahaan iklim. Besarnya biaya dalam pembangunan PLTN dan blom adanya jalan keluar untuk pembuangan limbah yang di hasilkan PLTN. Nuklir bukan lah suatu solusi untuk mengurangi perubahaan iklim


Desakan Greenpeace pada pemerintah negara-negara ASEAN untuk memimpin energi terbarukan serta memulai kebijakan untuk mengurangi emisi CO2. Berikut tahap-tahap yang harus dilakukan para pemimpin negara ASEAN :

  • Memenuhi target regional untuk menggunakan 10% sumber energi terbarukan pada tahun 2010
  • Menetapkan target 40% penggunaan energi terbarukan pada tahun 2020
  • Membuka mekanisme pendukung Seperti akses jaringan dan pilihan yang baik untuk energi bersih serta dukungan untuk usaha pembangkit listrik  yang mengembangkan energi terbarukan.
  • Melakukan standar energi efisiensi yang ketat bagi peralatan elektronik, lampu, gedung serta kendaraan
  • Meninggalkan cerita Batu bara bersih dan nuklir adalah sebuah solusi dari perubahaan iklim

— Arie Rostika Utami